Lee Se Young Berpeluang Jadi Pasangan Choo Young Woo di Drama Fantasi Romantis “Long Vacation”
Aktor Lee Se Young saat ini sedang dalam pembicaraan untuk bergabung dengan Choo Young Woo dalam drama romantis bertajuk Long...
Read moreVariety baru-baru ini melaporkan sebuah fenomena penting: perfilman Indonesia telah mencapai titik balik dramatis. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, film-film lokal kini melampaui film impor Hollywood di box office domestik. Pergeseran besar ini tidak hanya tentang jumlah tiket yang terjual, melainkan kisah tentang kreativitas, strategi produksi, keberanian mengambil risiko, hingga kemampuan industri untuk menyeimbangkan keaslian lokal dengan ambisi global.
Di balik layar, para produser Indonesia menjadi arsitek utama transformasi ini. Mereka kini tengah menghadapi tugas berat: mempertahankan momentum di tengah gelombang tantangan, mulai dari pertarungan sensor, keterbatasan jumlah layar, hingga dilema merilis ratusan film dalam sistem distribusi yang belum siap menampung lonjakan tersebut.
Angka-angka menunjukkan betapa besar pergeseran yang terjadi. Hingga pertengahan 2025, film lokal berhasil meraih 55,8 juta penonton dengan pangsa pasar 63 persen, dibandingkan dengan 33,4 juta penonton (37 persen) untuk film impor. Total keseluruhan mencapai 89,2 juta penonton.
Tahun sebelumnya, 2024, total penonton bioskop mencapai 126 juta, dan proyeksi Cinepoint memperkirakan angka tersebut akan meningkat hingga 100 juta penonton per tahun khusus untuk film lokal pada 2026, dengan pertumbuhan industri sekitar 10 persen per tahun.
Jumlah produksi film pun meningkat pesat: dari 152 judul pada 2024, diproyeksikan menjadi sekitar 200 judul pada 2028. Jumlah layar bioskop yang saat ini berada di angka 2.200 diperkirakan naik menjadi 2.700 pada 2030. Meski begitu, penerimaan per kapita masih rendah — di bawah 0,5 — menunjukkan potensi besar yang masih belum tergali.
Menurut Edwin Nazir, Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), kunci keberhasilan ada pada kualitas penceritaan dan nilai produksi. “Selama beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan peningkatan rilis film Indonesia dengan standar tinggi. Penonton kini lebih tertarik karena cerita semakin beragam, mulai dari animasi hingga perpaduan lintas genre seperti horor-komedi dan drama-aksi,” ujarnya.
Hal ini menandakan bahwa publik tidak lagi hanya mencari tontonan populer semata, melainkan juga cerita baru dengan pendekatan kreatif dan segar.
Shanty Harmayn, anggota dewan penasihat APROFI sekaligus pimpinan Base Entertainment, menegaskan bahwa keragaman genre menjadi kunci menarik minat penonton. Ia menunjuk contoh film animasi populer “Jumbo” dan kisah cinta fiksi ilmiah “Sore” sebagai bukti bahwa publik siap menyambut cerita di luar formula lama.
“Film yang berhasil bukan sekadar mengulang pola, tapi menawarkan sesuatu yang baru,” jelasnya. Harmayn juga menekankan pentingnya manajemen rilis yang tepat. “Kita perlu berhati-hati soal jadwal. Jika terlalu banyak film rilis di minggu yang sama, potensi penonton bisa terbagi. Setiap film harus diberi ruang untuk tumbuh.”
Indonesia memang dikenal sebagai pasar besar untuk film horor, namun tren ini mulai menunjukkan kejenuhan. Nazir mencatat bahwa meski horor masih menjual, performanya menurun dibandingkan tahun lalu. Drama justru kembali menjadi pilihan banyak penonton.
Harmayn menambahkan, “Ketika film horor terlalu banyak, pasar menjadi jenuh. Tetapi satu atau dua film segar bisa memicu siklus baru. Kuncinya adalah keseimbangan dan kreativitas.”
Yulia Evina Bhara, Kepala Hubungan Internasional APROFI dan pendiri KawanKawan Media, menekankan pentingnya relevansi. Film Indonesia harus menyasar generasi muda yang akrab dengan dunia digital.
“Generasi Z dan milenial muda adalah penonton utama. Cerita harus beresonansi dengan mereka, dan strategi pemasaran perlu menyesuaikan gaya komunikasi mereka, terutama di ranah media digital,” kata Harmayn menegaskan.
Platform streaming kini menjadi bagian vital dari ekosistem perfilman. Selain sebagai sumber pendapatan tambahan, streaming berfungsi sebagai inkubator kreatif.
Menurut Nazir, platform digital membantu mengubah kebiasaan menonton secara positif, memperluas jangkauan karya lokal. Harmayn menilai streaming sebagai kanal sekunder penting setelah bioskop. Sementara itu, Bhara mengingatkan bahwa platform streaming harus mendukung keberagaman. “Jika mereka gagal menangkap momentum ini, pasar bisa jenuh, dan kepercayaan yang sudah terbentuk bisa runtuh,” tegasnya.
Distribusi tetap menjadi masalah struktural. Bhara menjelaskan, “Hingga pertengahan tahun ini ada sekitar 400 film siap tayang, tetapi bioskop di Indonesia hanya bisa memutar sekitar 150 film per tahun. Ini murni karena keterbatasan layar.”
Nazir menambahkan bahwa antusiasme investor terhadap produksi sangat tinggi. Namun, jika tidak ada cukup pemain di sektor distribusi dan pameran, potensi ini bisa terhambat.
Para produser sepakat bahwa dukungan pemerintah sangat dibutuhkan. Bhara menekankan perlunya pembangunan bioskop di kota besar dan kecil, agar akses tontonan semakin merata. Nazir bahkan menyerukan agar Indonesia segera memiliki dana publik untuk produksi film, insentif pajak, hingga skema rabat bagi industri.
“Kita butuh kebijakan yang konsisten untuk mendorong pertumbuhan,” kata Nazir.
Nazir juga menyoroti perubahan positif dalam hal sensor. “Dalam beberapa tahun terakhir, badan sensor lebih fokus pada klasifikasi. Mereka juga lebih terbuka berdialog dengan pembuat film. Jika tren ini berlanjut, lembaga sensor bisa berevolusi menjadi badan klasifikasi penuh,” jelasnya.
Pendekatan ini dianggap penting agar kreativitas film Indonesia tidak terhambat oleh aturan kaku.
Strategi koproduksi menjadi langkah nyata untuk membawa film Indonesia ke pasar global. Anggota APROFI telah memamerkan sejumlah proyek di Festival Film Internasional Busan.
Harmayn mencontohkan “Mothernet”, film berbahasa Indonesia garapan sutradara Malaysia, sinematografer Singapura, dengan dukungan dana dari Singapura dan Taiwan. Bhara menyebutkan proyek seperti “Autobiography”, “Tiger Stripes”, dan “The Fox King” sebagai bentuk kerja sama lintas negara.
Nazir menambahkan bahwa adaptasi IP (Intellectual Property) dari Korea serta kesepakatan pembiayaan bersama membuka peluang kolaborasi yang lebih luas. “Kita bisa mengantisipasi semakin banyak proyek kolaboratif Asia di masa depan,” ujarnya.
Bhara menegaskan bahwa minat investor kini cukup tinggi. Namun tantangan utama adalah memastikan keberlanjutan. “Kita harus membuktikan bahwa industri film Indonesia menguntungkan. Jika tidak, kepercayaan investor bisa luntur, dan mereka beralih ke sektor lain,” katanya.
Bagi Bhara, kesuksesan bukan hanya angka penonton, melainkan pembangunan infrastruktur yang mendukung ambisi kreatif. Ia menekankan pentingnya:
Mendukung pembuat film dengan karya beragam dan personal.
Memperluas kerja sama internasional.
Menjaga agar penyensoran tidak mengorbankan kecemerlangan karya.
Harmayn menambahkan bahwa memahami audiens menjadi kunci, sementara Nazir menekankan peran sentral produser dalam menghadirkan konten berkualitas tinggi untuk pasar lokal maupun internasional.
Data pasar dari JAFF Market dan Cinepoint menunjukkan keberhasilan kuantitatif. Namun para produser percaya bahwa tantangan sesungguhnya ada di ranah kualitatif: bagaimana menjaga kebebasan berkreasi, pemerataan distribusi, dan cerita-cerita yang relevan dengan masa kini.
Dengan 44 anggota APROFI yang berpengaruh — termasuk Mira Lesmana, Ifa Isfansyah, Dian Sastrowardoyo, Shanty Harmayn, Bhara, dan Nazir — revolusi film Indonesia sedang menuju arah baru.
Bagi mereka, kesuksesan sejati bukan hanya tentang menyalip Hollywood di box office, melainkan mendefinisikan kembali arti penceritaan Indonesia bagi dunia.
TrenMedia.co.id, sebuah portal informasi digital yang hadir untuk menyajikan berita, artikel, dan tren terbaru. Kami percaya bahwa informasi yang tepat, akurat, dan relevan adalah kunci untuk membuka wawasan masyarakat di era serba cepat ini.
Aktor Lee Se Young saat ini sedang dalam pembicaraan untuk bergabung dengan Choo Young Woo dalam drama romantis bertajuk Long...
Read moreCloud cake adalah salah satu kreasi kue modern yang tengah populer. Dinamakan “cloud” karena teksturnya begitu lembut, ringan, dan lumer...
Kondisi sumber daya manusia di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam bidang pendidikan. Data terbaru menunjukkan bahwa 56,1 persen...