Kronologi Lengkap Kecelakaan Pesawat yang Merenggut Nyawa Panglima Militer Libya
Kepala Staf Angkatan Darat Libya, Letnan Jenderal Mohammed Ali Ahmed Al Haddad, dilaporkan meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat di Turki....
Read more
Awal Oktober 2025 menjadi momen penting bagi Timur Tengah. Dunia menyaksikan pengumuman gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang diumumkan di Sharm el-Sheikh, Mesir, dengan fasilitasi langsung dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Inisiatif ini memuat 20 poin kesepakatan, termasuk penghentian permusuhan, pembebasan sandera, serta penarikan pasukan secara bertahap.
Menurut laporan Reuters, gencatan senjata ini disambut suka cita oleh warga Israel dan Palestina, setelah dua tahun konflik yang menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina. Namun di balik rasa lega, muncul pula skeptisisme: apakah kesepakatan ini akan menjadi langkah menuju perdamaian abadi atau sekadar jeda sementara sebelum konflik kembali meletus.
Hanya beberapa jam setelah pengumuman, pesawat tempur Israel dilaporkan melancarkan serangan udara di kawasan Zeitoun dan Khan Younis. Ledakan menggema, mengubah euforia damai menjadi kepedihan baru.
Dalam pertemuan yang digelar di Paris pada 9 Oktober 2025, para menteri luar negeri dari negara-negara Eropa, Arab, dan Amerika Serikat membahas masa depan Gaza. Pertemuan ini menyoroti pembentukan pasukan stabilisasi internasional, rekonstruksi pascaperang, dan tata kelola politik Gaza yang baru.
Pihak Gedung Putih disebut memegang peran sentral dalam mendesak kesepakatan fase awal gencatan senjata. Namun, sebagaimana diingatkan oleh banyak pengamat, komitmen politik jangka panjang dari negara-negara besar menjadi kunci agar perdamaian ini tidak berhenti di atas kertas.
Pasca penarikan pasukan Israel pada 10 Oktober 2025, ribuan warga Gaza mulai kembali ke rumah mereka yang hancur akibat perang dua tahun terakhir. Namun rekonstruksi Gaza bukan sekadar membangun kembali rumah-rumah yang roboh, melainkan memulihkan seluruh ekosistem sosial dan ekonomi yang lumpuh.
Menurut Bank Dunia, Uni Eropa, dan PBB melalui laporan Interim Rapid Damage and Needs Assessment (IRDNA) Februari 2025, biaya rekonstruksi Gaza diperkirakan mencapai US$53,2 miliar (sekitar Rp 865 triliun) untuk dekade mendatang. Dari jumlah tersebut, US$20 miliar (sekitar Rp 325 triliun) dibutuhkan dalam tiga tahun pertama.
Angka ini menunjukkan besarnya tantangan yang harus dihadapi. Tanpa koordinasi politik yang kuat dan mekanisme transparansi, risiko korupsi dan ketimpangan distribusi bantuan sangat tinggi. Oleh karena itu, peran komunitas internasional, NGO, dan negara-negara seperti Mesir, Qatar, serta Turki menjadi penting untuk memastikan proses rekonstruksi berjalan adil dan akuntabel.
Prinsip do no harm dan partisipasi lokal menjadi fondasi utama dalam upaya rekonstruksi. Lembaga-lembaga sipil Palestina perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan agar pembangunan tidak dijadikan alat politik jangka pendek.
Warga seperti Ismail Zayda (40) di Gaza menggambarkan situasi di lapangan masih penuh ketidakpastian. “Kami kehilangan segalanya. Rumah kami rata dengan tanah. Tapi kami masih berharap bisa hidup normal lagi,” ujarnya.
Meski Donald Trump mengklaim bahwa gencatan senjata ini menjadi tonggak perdamaian abadi Timur Tengah, banyak pihak menilai komitmen Amerika Serikat masih perlu dibuktikan. Menurut Tom Fletcher, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan, βGencatan senjata ini tidak boleh menjadi harapan palsu bagi rakyat Palestina.β
Trump berencana menghadiri penandatanganan perjanjian di Mesir dan juga berpidato di Knesset, Parlemen Israel, pada 12 Oktober 2025. Namun tekanan politik di dalam negeri Israel, terutama dari koalisi pemerintahan Netanyahu, membuat implementasi kesepakatan ini tidak mudah.
Selain itu, status politik Gaza, demiliterisasi, serta jaminan hak-hak sipil rakyat Palestina masih menjadi pertanyaan besar. Tanpa rencana politik yang komprehensif, gencatan senjata berisiko menjadi jeda singkat di antara siklus kekerasan yang terus berulang.
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki potensi penting sebagai jembatan diplomatik. Dengan pengalaman historis dalam rekonsiliasi dan perdamaian lintas agama, Indonesia bisa berperan sebagai penengah moral dan fasilitator internasional.
Peran itu dapat diwujudkan melalui:
Dorongan agar bantuan internasional transparan dan berbasis kebutuhan rakyat Palestina.
Penegasan bahwa rekonstruksi Gaza harus melindungi pluralitas sosial dan warisan sipil.
Kolaborasi dengan PBB dan negara donatur untuk memastikan proses pemulihan tidak dimonopoli oleh kepentingan politik.
Ikuti Saluran Resmi Trenmedia di WhatsApp!
Dapatkan berita terkini, tren viral, serta tips inspiratif langsung dari redaksi.
π± Saluran Trenmedia π³ Saluran Resep Masakan Viral
Klik dan bergabung sekarang β update terbaru langsung masuk ke WhatsApp kamu!
Insiden wisatawan tenggelam kembali terjadi di Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Wisatawan diimbau tidak berenang di sejumlah titik pantai karena terdapat...
Langkah Jay Idzes menuju San Siro terus menjadi sorotan. Bek Timnas Indonesia yang kini tampil solid bersama Sassuolo disebut siap...