Ketegangan memanas antara Donald Trump dan Elon Musk setelah Musk melayangkan kritik tajam terhadap RUU “One Big Beautiful Bill”—sebuah paket besar-besaran yang disebutnya akan menghancurkan keuangan negara. Trump merespons dengan keras, menyampaikan bahwa tanpa subsidi pemerintah, Musk mungkin harus “menutup usahanya dan pulang ke Afrika Selatan”, menyuntikkan aroma ancaman dan kritik tajam ke dalam bursa politik dan bisnis Amerika.
Musk, yang pernah menjabat sebagai penasihat Trump dan memimpin entitas pemerintah bernama Department of Government Efficiency (DOGE), segera membalas. Dia mendorong Trump untuk benar-benar memotong subsidi terhadap perusahaan-perusahaannya—Tesla dan SpaceX—dengan tegas menyerukan: “CUT IT ALL. Now.”
Situasi semakin memanas saat Trump menyebut bahwa Musk kemungkinan menerima subsidi tertinggi dalam sejarah manusia. Ia mengecam bahwa tanpa dukungan finansial tersebut, semua operasi—peluncuran roket, satelit, dan produksi mobil listrik—akan berhenti dan negara akan “menghemat FORTUNE”. Gaduh politik ini menunjukkan betapa pentingnya peran subsidi dalam menjaga ekosistem bisnis Musk tetap bergerak.
Meskipun konflik ini menegakkan reputasi Musk sebagai tokoh kontroversial, ada saat-saat tensi mereda—seperti ketika Musk memberi pujian langka kepada Trump melalui postingannya di platform X terkait gencatan senjata 60-hari di Gaza: “Credit where credit is due”. Kejadian ini menandai momen defusing di tengah kebocoran nuklir emosional antara keduanya.
Semuanya mencerminkan hubungan rumit antara politik, kebijakan fiskal, dan tokoh teknologi global. Selalu menarik melihat bagaimana isu-isu seperti subsidi dan kebijakan belanja besar bisa berubah menjadi dramaturgi media sosial tingkat tinggi—dan bagaimana dua sosok yang sebelumnya sejalan, kini saling bertikai tajam.