Warga Gaza Rayakan Kesepakatan Damai Israel‑Hamas Tahap Pertama
Israel dan Hamas menyepakati proposal perdamaian tahap pertama di Gaza yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Menurut Detik,...
Read moreKondisi politik di Prancis memasuki fase genting. Sekutu dekat sekaligus mantan Perdana Menteri, Edouard Philippe, secara terbuka menyarankan Presiden Emmanuel Macron untuk mundur dari jabatannya, sebagai jalan keluar dari krisis politik yang terus memburuk dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut laporan Euro News yang dikutip CNN Indonesia, Philippe mengatakan bahwa ketidakstabilan politik tidak boleh dibiarkan terlalu lama karena dapat merugikan bangsa Prancis secara keseluruhan.
“[Janji Macron untuk tetap bertahan hingga pemilihan umum 2027] akan terlalu lama dan akan merugikan Prancis,” kata Philippe kepada stasiun radio RTL pada Selasa (7/10).
Edouard Philippe menekankan bahwa pengunduran diri Macron harus dilakukan secara terencana, bukan secara mendadak. Ia menyarankan agar pemilihan umum dipercepat, namun dilakukan setelah anggaran 2026 disahkan.
“Saya tidak mendukung pengunduran diri yang tiba-tiba dan brutal,” ujar Philippe, yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri pertama dalam pemerintahan Macron.
Pengamat menilai, pernyataan Philippe ini bukan hanya bentuk kritik terhadap pemerintahan Macron, tetapi juga indikasi bahwa ia sedang mempersiapkan diri maju dalam pemilihan presiden selanjutnya.
Bukan hanya Philippe yang menyuarakan keresahan. Gabriel Attal, mantan perdana menteri yang diangkat pada 2024 oleh Macron, juga ikut menyampaikan kekecewaannya terhadap keputusan-keputusan sang presiden.
“Seperti banyak orang Prancis lainnya, saya tidak lagi memahami keputusan presiden,” kata Attal dalam wawancara dengan penyiar TF1.
Namun, berbeda dari Philippe, Attal tidak secara eksplisit meminta Macron untuk mundur. Meski demikian, kritik dari dua tokoh penting ini semakin memperlihatkan retaknya dukungan politik internal terhadap Macron.
Pemerintahan Macron terus diguncang ketidakstabilan. Dalam tiga tahun terakhir, Prancis sudah empat kali berganti perdana menteri, menandakan krisis kepemimpinan yang belum mereda.
Perdana Menteri terbaru, Sebastien Lecornu, yang ditunjuk pada September 2025, bahkan mengundurkan diri sebelum genap sebulan menjabat.
Perubahan yang terlalu cepat di kursi perdana menteri ini memperburuk citra stabilitas pemerintahan Macron, terutama di mata publik dan parlemen.
Akar dari kekacauan politik ini bermula pada Juni 2024, ketika Emmanuel Macron secara mengejutkan membubarkan Majelis Rendah (National Assembly). Tindakan ini memicu pemilihan legislatif, namun hasilnya justru menciptakan parlemen tanpa mayoritas yang solid.
Sejak itu, koalisi yang dipimpin partai Macron mengalami kemerosotan, kalah pengaruh dari partai-partai lain, khususnya partai sayap kanan ekstrem, Rassemblement National, yang kini menjadi fraksi terbesar di parlemen.
Situasi politik Prancis saat ini berada dalam titik tumpu yang berbahaya. Ketika tidak ada satu pun blok politik yang memiliki mayoritas absolut di parlemen, maka pemerintahan kesulitan mengambil keputusan penting.
Kondisi ini membuat Presiden Macron makin terjepit. Dukungan internal mulai rapuh, sementara tekanan dari oposisi dan publik kian meningkat.
Berdasarkan beberapa jajak pendapat yang dilakukan media lokal, kepercayaan publik terhadap pemerintahan Macron terus menurun, dan sebagian besar masyarakat menginginkan adanya perubahan lebih cepat sebelum masa jabatannya berakhir pada 2027.
Edouard Philippe saat ini disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat dalam pemilihan presiden mendatang. Dengan pernyataannya yang mendorong Macron untuk mundur, ia tidak hanya menyampaikan kritik, tetapi juga memposisikan diri sebagai figur alternatif di tengah kekacauan politik saat ini.
Sebagai tokoh yang dikenal moderat, Philippe bisa menjadi jembatan antara kelompok konservatif dan progresif, sekaligus menjadi lawan berat bagi tokoh dari sayap kanan seperti Marine Le Pen jika benar-benar maju di 2027.
Dalam situasi politik yang tidak stabil seperti saat ini, kemampuan Macron untuk mempertahankan kontrol pemerintahan semakin diragukan. Jika tidak segera mengambil langkah strategis seperti rekonsiliasi politik atau pembentukan koalisi baru, tekanan untuk mundur kemungkinan akan terus meningkat.
Desakan dari internal sekutu, seperti Edouard Philippe, dan meningkatnya kekuatan oposisi, bisa menjadi pertanda bahwa masa pemerintahan Macron mendekati akhir yang lebih cepat dari jadwal.
Referensi: CNN Indonesia
TrenMedia.co.id, sebuah portal informasi digital yang hadir untuk menyajikan berita, artikel, dan tren terbaru. Kami percaya bahwa informasi yang tepat, akurat, dan relevan adalah kunci untuk membuka wawasan masyarakat di era serba cepat ini.
Aplikasi video berbasis kecerdasan buatan (AI) buatan OpenAI, yaitu Sora, mencuri perhatian publik hanya beberapa hari setelah peluncurannya.Dalam waktu kurang...
Cek Tanah Kini Bisa Dilakukan Secara Online Mengecek bidang tanah adalah langkah penting sebelum membeli atau mengelola lahan. Berdasarkan penjelasan...