Lebih dari 4.500 Personel Gabungan Dinas Siaga Amankan Demo Buruh Besok di DPR
Persiapan jelang unjuk rasa besar-besaran terus mengemuka, menjelang aksi besar buruh besok Kamis (28/8) di depan Gedung DPR RI. Yang...
Read moreMenteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, tiba-tiba menjadi sorotan setelah mengeluarkan pernyataan yang cukup mengundang perhatian di dunia pendidikan. Di tengah forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri (KSTI) di ITB tanggal 7 Agustus 2025, beliau menyinggung soal gaji guru dan dosen yang dianggap masih rendah.
Beliau menyampaikan bahwa di media sosial sering terdengar komentar seperti “menjadi dosen atau guru tidak dihargai karena gajinya tidak besar.” Menurutnya, hal ini merupakan “tantangan bagi keuangan negara”. “Apakah semuanya harus keuangan negara, ataukah ada partisipasi dari masyarakat?” ujar Sri Mulyani, sedikit membangkitkan diskusi soal siapa yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan pendidik.
Respons publik pun segera berdatangan. Dari media, akademisi, hingga guru—banyak yang merasa luka mendalam. Guru sering dijuluki “pahlawan tanpa tanda jasa”, jadi ketika jerih payah mereka malah digambarkan sebagai beban, kritik pun membanjiri opini publik.
Melintas.id mencatat luapan kekecewaan dari para pendidik, terutama guru swasta yang kerap menghadapi kondisi ekonomi sulit—ada yang rela mengajar tanpa gaji beberapa bulan, sambil sembari sambilan menjual makanan atau ikut ojek online. Pernyataan semacam ini jadi terasa menyakitkan, padahal mereka tetap bertahan demi mencerdaskan anak bangsa.
Pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Sri Lestari, menyebut pernyataan tersebut tidak empatik dan berpotensi melempar tanggung jawab ke masyarakat. Ia menyoroti guyonan soal “jenis-jenis dosen” dan indikator kinerja yang terjebak dalam paradigma publikasi, tanpa mempertimbangkan beban administratif dan pengabdian masyarakat yang dijalankan oleh dosen sehari-hari.
Lebih jauh lagi, Sri Lestari mengingatkan bahwa pernyataan itu bisa membuka jalan bagi privatisasi pendidikan. Jika pembiayaan terlalu bergantung pada partisipasi masyarakat atau pihak swasta, kampus terkemuka bisa meraih dukungan besar—sementara kampus di daerah justru makin tertinggal. Hal ini bisa menciptakan ketimpangan yang memprihatinkan.
Pada kesempatan yang sama, Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa anggaran pendidikan 2025 mencapai sekitar Rp 724,3 triliun, yang dibagi ke dalam tiga klaster utama: (1) manfaat langsung bagi pelajar seperti KIP dan beasiswa, (2) gaji serta tunjangan guru dan dosen, dan (3) pembangunan infrastruktur pendidikan. Namun beliau juga mengakui adanya tekanan fiskal sehingga perlu dipertimbangkan skema partisipasi publik.
Sikap ini memicu pertanyaan besar: sekadar wacana atau pertanda kebijakan baru? Sebab jika pendidikan mulai dibebankan ke ranah masyarakat luas, potensi ketimpangan dan biaya pendidikan yang melonjak bisa jadi nyata. Itu belum termasuk risiko kemunduran akses pendidikan di daerah terpencil.
Isu ini pun berkembang dalam diskusi yang lebih luas. Sejumlah pihak menyebut bahwa masalahnya bukan pada siapa yang membayar, melainkan bagaimana pendidikan diposisikan sebagai fondasi pembangunan sumber daya manusia. Reformasi dibutuhkan—bukan hanya soal anggaran, tapi juga indikator kinerja yang lebih humanis dan adil.
Persiapan jelang unjuk rasa besar-besaran terus mengemuka, menjelang aksi besar buruh besok Kamis (28/8) di depan Gedung DPR RI. Yang...
Read morePersiapan jelang unjuk rasa besar-besaran terus mengemuka, menjelang aksi besar buruh besok Kamis (28/8) di depan Gedung DPR RI. Yang...
Aksi petugas pemadam kebakaran (Damkar) di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mendadak viral setelah sebuah video memperlihatkan mereka memadamkan api...