Memasuki Oktober 2025, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menandai satu tahun masa kerja dengan sejumlah gebrakan ekonomi besar. Dari bank emas nasional, penundaan kenaikan PPN, hingga insentif kendaraan listrik, pemerintah berupaya menstimulasi perekonomian di tengah tekanan global. Namun, di balik optimisme tersebut, data makroekonomi menunjukkan capaian yang masih moderat.
Menurut laporan resmi Badan Komunikasi Pemerintah (Bakom RI), tujuh kebijakan ekonomi utama yang dicanangkan pada 2025 bertujuan memperkuat daya beli, menambah lapangan kerja, serta menjaga stabilitas fiskal. Salah satu yang menonjol adalah penerapan devisa hasil ekspor (DHE) lewat PP No. 8 Tahun 2025 yang menargetkan peningkatan devisa hingga 100 miliar dolar AS.
Berdasarkan data Bank Indonesia, cadangan devisa Indonesia pada Juni 2025 mencapai 152,6 miliar dolar AS, naik tipis dari bulan sebelumnya. Angka ini cukup kuat untuk membiayai 6,4 bulan impor dan berada di atas standar internasional. Namun, stabilitas ini belum sepenuhnya menjawab tantangan menurunnya ekspor akibat perlambatan global.
Selain itu, kebijakan penundaan kenaikan PPN menjadi 12 persen dianggap membantu masyarakat menjaga daya beli di tengah inflasi. Menteri Keuangan menjelaskan, langkah ini bagian dari strategi menyeimbangkan penerimaan pajak dan konsumsi domestik. Meski demikian, sejumlah ekonom mengkritik bahwa penundaan pajak bukan solusi jangka panjang, karena beban defisit bisa meningkat jika penerimaan negara stagnan.
Kebijakan lain yang disorot publik adalah insentif kendaraan listrik dan hybrid, dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 10 persen dan PPnBM DTP sebesar 3 persen. Pemerintah menilai kebijakan ini penting untuk mendorong transisi energi. Namun, tingkat adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih rendah, hanya sekitar 2 persen dari total penjualan otomotif nasional per Agustus 2025 (data Kemenperin). Artinya, dampak ekonominya masih terbatas pada sektor tertentu.
Langkah ambisius lainnya adalah pendirian bank emas nasional (bullion bank) pada Februari 2025. Menurut proyeksi awal pemerintah, inisiatif ini berpotensi menyumbang Rp245 triliun terhadap PDB dan menciptakan 1,8 juta lapangan kerja baru. Namun, sejumlah analis menilai perhitungan ini bersifat optimistis. Data tenaga kerja per Agustus 2025 dari BPS menunjukkan tingkat pengangguran terbuka masih di kisaran 5,1 persen, tanpa peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya.
Pemerintah juga berupaya menyelamatkan ribuan pekerja PT Sritex yang terdampak kebangkrutan perusahaan tekstil tersebut. Langkah ini diapresiasi sebagai bentuk intervensi sosial ekonomi langsung, namun juga menyoroti lemahnya ketahanan sektor industri padat karya yang rentan tekanan global.
Untuk efisiensi fiskal, Presiden Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 tentang penghematan APBN sebesar Rp306,9 triliun. Menurut Kementerian Keuangan, langkah ini bertujuan mengalihkan anggaran ke sektor prioritas seperti ketahanan pangan, energi, dan pendidikan vokasi. Namun, ekonom menilai efisiensi tanpa percepatan belanja produktif berisiko menahan pertumbuhan jangka pendek.
Evaluasi Kritis: Antara Arah yang Tepat dan Eksekusi yang Lambat
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekonomi Indonesia tumbuh 4,87 persen pada kuartal I 2025, dan 5,12 persen pada kuartal II 2025. Meski positif, angka ini masih di bawah target 6–8 persen yang dipatok pemerintah. Dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam (6,3 persen) dan Filipina (6,1 persen), kinerja Indonesia tergolong moderat.
Konsumsi rumah tangga—penopang 54 persen PDB nasional—belum tumbuh signifikan. Daya beli masyarakat masih tertekan oleh kenaikan harga pangan dan upah riil yang stagnan. Sementara itu, investasi baru cenderung melambat karena ketidakpastian kebijakan dan kondisi global.
Di sisi lain, pemerintah memang menunjukkan arah kebijakan yang progresif: mendorong hilirisasi, memperluas pembiayaan produktif, dan memperkuat sektor pertanian serta energi terbarukan. Namun, evaluasi kritis perlu menyoroti aspek implementasi: apakah gebrakan tersebut benar-benar memberi dampak langsung pada masyarakat, atau masih berputar di level kebijakan?
Sebagaimana disampaikan oleh beberapa ekonom Universitas Indonesia, kebijakan ekonomi Prabowo dinilai visioner namun belum fokus pada distribusi manfaat. Tanpa perbaikan tata kelola dan percepatan birokrasi, kebijakan yang baik berisiko kehilangan efektivitas.
Referensi: Detik Finance
Referensi tambahan:
BPS, Bank Indonesia, Infobank News