Aplikasi AI Bertema Agama Picu Polemik: Bertanya Langsung ke Yesus?
Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) kini mulai menyentuh wilayah yang sangat sensitif — agama dan spiritualitas. Salah satu contoh yang tengah ramai diperbincangkan adalah aplikasi AI bernama Text With Jesus, yang memungkinkan pengguna berdialog seolah-olah sedang berbicara langsung dengan Yesus Kristus, Maria, Yusuf, dan hampir seluruh rasul dalam ajaran Kristen.
Menurut CNN Indonesia yang mengutip laporan AFP, aplikasi ini dikembangkan oleh Catloaf Software, sebuah perusahaan teknologi yang menyebut produknya sebagai media edukasi spiritual interaktif.
“Ini adalah cara baru untuk membahas isu-isu keagamaan secara interaktif,” ujar Stephane Peter, CEO Catloaf Software.
Cara Kerja dan Fitur Aplikasi
Text With Jesus berbasis pada GPT-5, model terbaru dari teknologi AI yang populer digunakan di berbagai aplikasi percakapan. Pengguna cukup mengetik pertanyaan, dan aplikasi akan merespons seolah dari sudut pandang tokoh agama yang dipilih.
Menariknya, meskipun aplikasi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa percakapan dijalankan oleh AI, tokoh-tokoh seperti Yesus dan Musa tidak mengakui diri sebagai AI saat ditanya pengguna secara langsung.
Hal ini memicu pertanyaan etis, karena pengguna awam bisa saja tidak menyadari bahwa mereka sedang berbicara dengan mesin, bukan sosok spiritual.
Respons Masyarakat: Pujian, Ketertarikan, dan Kecaman
Walaupun Text With Jesus memiliki rating cukup tinggi di App Store, yakni 4,7 dari 5, banyak kalangan religius menilai kehadiran aplikasi ini sebagai bentuk pelecehan terhadap nilai iman.
Menurut CNN Indonesia, Christopher Costello, Direktur Teknologi Informasi di Catholic Answers, awalnya sempat meluncurkan karakter AI bernama Father Justin. Namun, setelah muncul kritik karena dianggap menggantikan peran imam sungguhan, nama itu diubah menjadi sekadar “Justin”.
“Kami tidak ingin menggantikan manusia. Kami hanya ingin membantu,” jelas Costello.
Tak Hanya Kristen, Agama Lain Juga Ikut Tren AI
Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi dalam tradisi Kristen. Beberapa agama besar lain juga mulai mengembangkan asisten AI spiritual, di antaranya:
Deen Buddy untuk umat Islam
Vedas AI untuk penganut Hindu
AI Buddha untuk kalangan Buddhis
Mayoritas dari aplikasi ini mengklaim diri mereka hanya sebagai alat bantu untuk memahami teks suci dan tidak bertujuan menggantikan tokoh spiritual asli.
Tanggapan Pemuka Agama: Teknologi Tak Bisa Gantikan Koneksi Manusia
Meskipun beberapa umat merasa terbantu, para pemuka agama tetap mengingatkan soal pentingnya koneksi emosional dan spiritual dalam memahami ajaran agama.
Rabbi Gilah Langner, seorang pemuka Yahudi, menegaskan bahwa pendalaman spiritual tidak bisa digantikan oleh teknologi.
“Saya rasa itu tidak bisa didapat dari AI. Mungkin hasilnya akan sangat bernuansa, tapi koneksi emosionalnya hilang,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa penggunaan AI bisa membuat orang terisolasi dari tradisi keagamaan yang hidup dan sosial.
Sudut Pandang Pengguna: Pelengkap, Bukan Pengganti
Tak semua umat menolak penggunaan AI dalam konteks keimanan. Nica, seorang perempuan asal Filipina berusia 28 tahun dan anggota Gereja Anglikan, mengaku menggunakan ChatGPT hampir setiap hari untuk mempelajari Alkitab.
“Saya punya komunitas Kristen, suami, dan pembimbing rohani. Tapi kadang saya punya pertanyaan acak soal Alkitab dan ingin jawaban cepat,” ujarnya, dikutip CNN Indonesia.
Namun, ia tetap menempatkan AI sebagai pelengkap, bukan pengganti ajaran atau bimbingan spiritual yang ia terima secara langsung.
Reaksi Kritis: AI Bukan Sarana Mendekat ke Tuhan
Tak semua tanggapan bersifat terbuka. Emanuela, seorang wanita yang baru saja keluar dari Katedral St. Patrick di New York, menyatakan keprihatinannya terhadap tren ini.
“Orang yang ingin percaya kepada Tuhan sebaiknya tidak bertanya pada chatbot. Mereka harus bicara dengan orang-orang yang juga percaya,” katanya.
AI Pernah Pimpin Ibadah: Kasus di Texas
Pada November 2023, Pendeta Jay Cooper dari Violet Crown City Church di Austin, Texas, pernah menguji penggunaan AI untuk memimpin ibadah secara penuh. Meski ia sudah memberi peringatan kepada jemaat sebelumnya, respons yang muncul cukup beragam.
“Ada yang panik, bilang gereja kami sekarang jadi gereja AI,” kata Cooper.
Namun ia juga mengakui bahwa ibadah tersebut menarik perhatian kalangan baru, termasuk para gamer dan penggemar teknologi.
“Saya senang kami mencobanya, tapi itu tidak menyampaikan hati dan semangat dari apa yang biasanya kami lakukan,” lanjutnya.
Pandangan Vatikan: AI dan Agama Bisa Bersinergi?
Menariknya, Vatikan justru menunjukkan sikap yang lebih terbuka terhadap potensi AI. Paus Fransiskus bahkan pernah menunjuk Demis Hassabis, pendiri laboratorium AI Google DeepMind, sebagai anggota Akademi Ilmiah Kepausan.
Langkah ini dianggap sebagai sinyal bahwa gereja Katolik mulai membuka diri terhadap diskusi etika dan penggunaan teknologi mutakhir dalam konteks kemanusiaan dan spiritualitas.
Analisis: Antara Inovasi dan Risiko Etika
Kehadiran aplikasi seperti Text With Jesus memperlihatkan dua sisi dari penggunaan teknologi dalam agama:
Kelebihan:
Membantu pemahaman teks suci secara cepat
Menjangkau umat yang tinggal di lokasi terpencil
Meningkatkan ketertarikan generasi muda terhadap nilai agama
Risiko:
Menimbulkan kebingungan antara tokoh spiritual dan AI
Potensi penyalahgunaan identitas tokoh agama
Mengurangi makna relasi sosial dan spiritual antarmanusia
Referensi: CNN Indonesia
Referensi tambahan: AFP