Sampah Menumpuk di Jalan Utama Tangsel, Ahli Ungkap Solusi Jangka Panjang

Sampah menggunung di jalan utama Tangsel akibat TPA penuh, pakar sarankan teknologi reduksi sampah. (Foto: Okezone)
Sampah menggunung di jalan utama Tangsel akibat TPA penuh, pakar sarankan teknologi reduksi sampah. (Foto: Okezone)

Sampah menggunung di jalan utama Tangsel akibat TPA penuh, pakar sarankan teknologi reduksi sampah

Tumpukan sampah terlihat menggunung di sejumlah ruas jalan utama Tangerang Selatan, Banten. Kondisi ini terjadi setelah Tempat Pembuangan Akhir Cipeucang tidak lagi mampu menampung volume sampah harian yang terus meningkat. Akibatnya, distribusi sampah tersendat dan sebagian terpaksa tertahan di kawasan perkotaan.

Menurut Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Dewi Chomistriana, kapasitas TPA Cipeucang sudah tidak sebanding dengan produksi sampah warga Tangerang Selatan. Berdasarkan data kementerian, volume sampah harian daerah tersebut mencapai minimal 800 ton dan bisa melonjak hingga 1.000 ton pada kondisi tertentu.

“Kapasitas tampungnya hanya maksimal 400 ton per hari,” kata Dewi Chomistriana, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, saat media briefing di Jakarta Selatan.

Kondisi ini menimbulkan dampak lanjutan bagi lingkungan dan masyarakat sekitar TPA. Berdasarkan temuan Kementerian Lingkungan Hidup, pemerintah daerah dinilai lalai dalam pengelolaan sampah sehingga dijatuhi sanksi administratif. Pelaksana tugas Deputi Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun KLH Hanifah Dwi Nirwana menyebutkan, pemerintah kota diwajibkan menyediakan landfill baru dalam waktu 180 hari.

Selain itu, area pembuangan dengan sistem open dumping harus segera ditutup dan dilakukan capping untuk mencegah pencemaran lanjutan. Warga di sekitar TPA Cipeucang juga melaporkan dampak serius berupa longsor sampah, banjir akibat saluran tersumbat, hingga pencemaran air tanah.

Air sumur warga tercemar air lindi atau cairan sampah yang berpotensi memicu gangguan kesehatan bila terus digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa krisis sampah tidak hanya berdampak visual, tetapi juga mengancam kualitas hidup masyarakat.

Pakar nilai lahan baru hanya solusi sementara

Dosen Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia Dr Yuki MA Wardhana menilai, penambahan lahan pembuangan tidak boleh dianggap sebagai solusi utama. Menurutnya, metode capping yang dilakukan harus memperhatikan lapisan tanah kedap dan sistem drainase gas agar air lindi tidak meresap ke sumber air.

Yuki menegaskan, perlu ada kejelasan bahwa penambahan lahan hanya bersifat sementara. Secara paralel, pemerintah daerah perlu menyiapkan grand design pengelolaan sampah dari hulu ke hilir yang berkelanjutan.

Ia menilai Tangerang Selatan memiliki keunggulan struktural karena banyak kawasan perumahan berbasis cluster. Kondisi ini memudahkan pembentukan sistem komunal pengelolaan sampah jika dikelola dengan baik dan konsisten.

Teknologi reduksi sampah jadi kunci kota besar

Ketua Umum Indonesia Environmental Scientist Association ini menilai, kota satelit Jakarta seperti Tangerang Selatan perlu mengembangkan teknologi yang mampu mereduksi sampah secara signifikan. Dua teknologi yang dinilai relevan adalah waste-to-energy (WTE) dan refuse-derived fuel (RDF).

WTE merupakan teknologi yang mengubah sampah non-da ulang menjadi energi seperti listrik, panas, atau bahan bakar alternatif. Sementara RDF mengolah sampah menjadi bahan bakar bernilai kalor tinggi yang dapat menggantikan batu bara di industri seperti pabrik semen dan pembangkit listrik.

✍️ Ditulis oleh: Fadjri Adhi Putra & Fahmi Fahrulrozi
📌 Editor: Redaksi Tren Media

Ikuti Saluran Resmi Trenmedia di WhatsApp!
Dapatkan berita terkini, tren viral, serta tips inspiratif langsung dari redaksi.

📱 Saluran Trenmedia 🍳 Saluran Resep Masakan Viral

Klik dan bergabung sekarang – update terbaru langsung masuk ke WhatsApp kamu!

BERITATERKAIT

BERITATERBARU

INSTAGRAMFEED