Libur Nataru Makin Mudah Nikmati Tarif Spesial LRT Jabodebek Maksimal Rp 10 Ribu
Bagi masyarakat yang berencana bepergian menggunakan LRT Jabodebek selama libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025/2026, ada kebijakan tarif yang...
Read more
Kasus bullying di sekolah kembali menjadi perhatian nasional setelah sejumlah insiden perundungan menyebabkan korban mengalami luka fisik hingga trauma berat. Dalam beberapa kasus, tindakan tersebut bahkan berujung pada kematian korban. Kondisi ini mendorong Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pemerintah bersama DPR untuk mempercepat revisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Menurut lembaga tersebut, aturan yang berlaku saat ini belum cukup memberikan efek jera bagi pelaku perundungan maupun pembelajaran bagi lingkungan sekolah.
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini menjelaskan bahwa berbagai bentuk kekerasan antarpelajar kerap muncul karena masih adanya relasi kuasa antaranak, seperti dominasi ekonomi, status sosial, hingga pengaruh kelompok di sekolah. Relasi tersebut, ditambah lemahnya pengawasan, menciptakan ruang bagi perilaku agresif. “Bullying sering kali terjadi jika masih ada relasi kuasa antaranak di sekolah,” ujar Diyah. Ia menilai upaya penanganan tidak cukup hanya mengandalkan sanksi administrasi.
Selain menyoroti bentuk hukuman yang terlalu ringan, KPAI menilai pentingnya pendekatan reintegrasi sosial. Bentuk penanganan ini tidak hanya mengutamakan hukuman, tetapi juga memberikan ruang bagi pelaku untuk menjalankan tanggung jawab sosial, misalnya melalui kegiatan layanan masyarakat. Menurutnya, pendekatan tersebut lebih dapat menekan potensi pengulangan perilaku kekerasan dan membantu proses pemulihan relasi di sekolah.
Sejumlah penelitian yang membahas kekerasan pada anak menunjukkan bahwa bentuk sanksi yang terlalu ringan berpotensi membuat pelaku tidak merasakan konsekuensi serius. Berdasarkan data dalam sebuah jurnal resmi penelitian transportasi darat, konsep pembinaan anak memerlukan kerangka hukum yang jelas agar penanganan tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga menyentuh aspek psikologis serta sosial pelaku. Penelitian lain dari e-Proceeding Itenas menguatkan bahwa efektivitas hukum terhadap anak harus memperhatikan tingkat risiko, pola perilaku, serta latar belakang keluarga.
Dorongan revisi UU SPPA juga sebelumnya pernah disuarakan dalam berbagai forum. Dalam dokumen Rencana Strategis KPAI 2020–2024, lembaga tersebut menilai bahwa kerangka hukum peradilan anak perlu diperbarui agar dapat mengatasi kasus kekerasan yang semakin kompleks. Mekanisme rehabilitasi, pendampingan, serta penyelesaian perkara harus diperkuat agar korban, pelaku, dan lingkungan pendidikan mendapatkan proses pembinaan yang komprehensif.
Di sisi lain, sejumlah kasus perundungan yang mencuat membuat pemerintah pusat ikut memberikan perhatian. Presiden telah meminta seluruh instansi pendidikan memperketat pengawasan serta memitigasi risiko kekerasan di sekolah. Menurut KPAI, langkah tersebut perlu dibarengi dengan pendataan anak rentan, penguatan resiliensi, dan pembentukan budaya toleransi di lingkungan pendidikan.
Ikuti Saluran Resmi Trenmedia di WhatsApp!
Dapatkan berita terkini, tren viral, serta tips inspiratif langsung dari redaksi.
📱 Saluran Trenmedia 🍳 Saluran Resep Masakan Viral
Klik dan bergabung sekarang – update terbaru langsung masuk ke WhatsApp kamu!
Insiden wisatawan tenggelam kembali terjadi di Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Wisatawan diimbau tidak berenang di sejumlah titik pantai karena terdapat...
Langkah Jay Idzes menuju San Siro terus menjadi sorotan. Bek Timnas Indonesia yang kini tampil solid bersama Sassuolo disebut siap...