Kisah tentang pilot jet tempur pertama Indonesia, Mulyono, menjadi bagian penting dalam sejarah dunia penerbangan militer Tanah Air. Namanya dikenal sebagai pionir di Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), yang kini dikenal sebagai TNI Angkatan Udara (TNI AU). Namun, perjalanan hidupnya harus berakhir tragis ketika pesawat yang dikemudikannya jatuh saat melakukan aksi aerobatik di Surabaya tahun 1951.
Kisah ini kembali ramai diperbincangkan setelah pemerintah Indonesia menyetujui pembelian jet tempur Chengdu J-10C asal China senilai US$9 miliar (sekitar Rp146 triliun) untuk memperkuat armada TNI AU. Di balik pengadaan jet canggih tersebut, ada sejarah panjang perjuangan para penerbang Indonesia, salah satunya Mulyono.
Dari Masinis Jadi Pionir Udara Indonesia
Mulyono bukan berasal dari latar belakang militer udara. Ia awalnya bekerja sebagai masinis, namun ketertarikannya pada dunia penerbangan membawanya ke Sekolah Penerbangan di Malang pada tahun 1945. Setelah itu, ia pindah ke Sekolah Penerbangan Maguwo di Yogyakarta, yang kemudian berubah nama menjadi Akademi Angkatan Udara (AAU).
Masa itu bertepatan dengan situasi perang kemerdekaan. Menurut buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945–1950 (2008), Mulyono sempat diterjunkan dalam pertempuran udara melawan Belanda tahun 1947 di Semarang, meski statusnya masih sebagai siswa penerbang. Aksi tersebut tercatat sebagai serangan udara pertama AURI dalam sejarah Indonesia.
Keberanian dan kemampuannya membuat Mulyono dipercaya membawa pesawat pembom Guntai untuk menyerang basis Belanda. Ia juga aktif dalam misi pengiriman logistik udara untuk para pejuang di berbagai daerah. Dari keberhasilan misi-misi tersebut, Mulyono dinobatkan sebagai pilot tempur pertama Angkatan Udara Republik Indonesia.
Setelah perang usai, Mulyono terus mengembangkan kemampuan terbangnya. Ia mendapat kesempatan menempuh pendidikan penerbangan di luar negeri karena dikenal sangat cerdas dan piawai mengendalikan pesawat. Dalam berbagai latihan udara, Mulyono dikenal mampu bermanuver ekstrem dan menghindari serangan musuh dengan ketepatan tinggi.
Namun, karier cemerlangnya berakhir pada 12 April 1951 pukul 17.30 di Surabaya. Saat itu, Mulyono memimpin formasi penerbangan dalam pertunjukan aerobatik memperingati lima tahun berdirinya AURI. Ia mengemudikan pesawat Mustang, pesawat tempur legendaris yang digunakan banyak negara pasca Perang Dunia II.
Menurut arsip harian Pikiran Rakyat (14 April 1951), aksi aerobatik Mulyono semula berjalan memukau. Penonton bersorak kagum melihat gerakan menukik dan melambung yang ia lakukan. Namun, pada satu momen, pesawatnya terlihat mengeluarkan ledakan kecil disertai asap. Banyak penonton mengira itu bagian dari atraksi. Sayangnya, sesaat kemudian pesawat menukik tajam dan menabrak tanah.
“Pesawat langsung menukik tajam secara cepat dari udara dan menujam ke tanah hingga motor dan kokpit masuk ke tanah sedalam satu meter,” tulis koran tersebut.
Mulyono gugur di tempat pada usia 28 tahun. Pihak AURI segera mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung atas kepergian salah satu penerbang terbaik bangsa. Jenazahnya dimakamkan di Taman Kusuma Bangsa, Surabaya, sebagai bentuk penghormatan terakhir.
Kisah Kapten Mulyono bukan hanya tentang keberanian, tetapi juga dedikasi terhadap tanah air. Ia menjadi simbol perjuangan awal Angkatan Udara Indonesia dalam membangun kekuatan udara di tengah keterbatasan pasca-kemerdekaan.
Menurut catatan sejarah AURI, para penerbang generasi awal seperti Mulyono berperan penting dalam mendirikan fondasi profesionalisme TNI AU. Mereka tidak hanya menguasai kemampuan terbang, tetapi juga berperan dalam perencanaan taktis dan strategi tempur di masa revolusi.
Kini, tujuh dekade setelah kepergian Mulyono, TNI AU telah berkembang menjadi kekuatan udara modern dengan berbagai jenis pesawat tempur, termasuk F-16, Rafale, dan sebentar lagi Chengdu J-10C dari China. Namun, keberhasilan itu tak lepas dari jasa dan semangat pionir-pionir seperti dirinya yang menanamkan dasar-dasar kedirgantaraan Indonesia.
Kisah Mulyono menjadi pengingat bahwa di balik kecanggihan teknologi dan alutsista modern, ada pengorbanan generasi awal penerbang Indonesia yang mempertaruhkan nyawa demi tegaknya kedaulatan udara bangsa.
Referensi: CNBC Indonesia