Peristiwa pembajakan pesawat pertama di Indonesia terjadi pada 5 April 1972, ketika pesawat Merpati Nusantara Airlines (MNA) dengan nomor penerbangan 171 rute Surabaya–Jakarta dibajak seorang pria bersenjata. Pelaku bernama Herman Hermanto alias Hermawan Harijanto membawa dua granat buatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan bahan peledak lain di dalam tas.
Pesawat jenis Vickers Viscount “Merauke” dikemudikan oleh Kapten Hindiarto dan kopilot Soleh, dengan Domingus Sinay sebagai flight engineer. Ketegangan dimulai ketika pesawat berada di atas wilayah Tegal. Pelaku mendekati kokpit sambil mengancam akan meledakkan pesawat jika tidak diperbolehkan masuk. Ia menuntut tebusan Rp 20 juta dan sebuah parasut, jumlah yang sangat besar pada masa itu.
Setelah berhasil masuk ke kokpit, pembajak memborgol tangan pilot dan kopilot lalu memaksa mereka mendarat di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Pemerintah yang mengetahui insiden tersebut segera mengerahkan Pasukan Gerak Cepat AURI dan Brigade Mobil Polisi (Brimob) untuk mengamankan situasi.
Pembajak terus mengawasi komunikasi antara kokpit dan menara bandara. Petugas akhirnya menuruti permintaannya untuk mengisi bahan bakar, namun sengaja memperlambat prosesnya agar situasi dapat dikendalikan. Dalam kondisi genting itu, salah satu penumpang, Kapten Suharto dari Bouraq Indonesia Airways, berhasil melarikan diri melalui pintu darurat dan melapor bahwa tangan pilot dan kopilot diborgol.
Ketika pemerintah menyatakan tidak dapat memenuhi permintaan uang Rp 20 juta, pelaku menurunkan tuntutannya menjadi Rp 5 juta. Pada saat yang sama, Domingus Sinay diminta turun untuk mengambil tebusan, namun kesempatan itu dimanfaatkan sebagian penumpang untuk melarikan diri. Menyadari hal itu, Hindiarto berpura-pura mengeraskan suara mesin pesawat agar pembajak tidak sadar bahwa kabin sudah kosong.
Strategi Berani dan Akhir yang Menegangkan
Ketika menyadari para penumpang telah kabur, pembajak menjadi marah dan mengancam akan menghabisi pilot dan kopilot. Dalam situasi kritis tersebut, pihak keamanan merancang strategi penyelundupan senjata ke dalam pesawat. Seorang perwira polisi bernama Ipda Bambang Widodo, lulusan Akademi Kepolisian, menyusup dari arah depan pesawat sambil membawa pistol jenis revolver Colt.
Ia berhasil menyelundupkan senjata melalui jendela kokpit dengan bantuan awak darat yang mendorong tangga ke sisi pesawat. Suara mesin yang keras membuat pembajak tidak menyadari aksi tersebut. Setelah pistol berhasil diserahkan, Hindiarto dan Soleh diam-diam mengambilnya meskipun tangan mereka masih terikat.
Saat pembajak lengah dan membalikkan badan, Kapten Hindiarto melepaskan lima tembakan, tiga di antaranya mengenai titik vital tubuh pelaku. Pembajak tewas di tempat, sementara Hindiarto dan kopilot segera keluar dari pesawat untuk menyelamatkan diri.
Belakangan diketahui bahwa Kapten Hindiarto adalah mantan penerbang AURI yang pernah menempuh pendidikan di Amerika Serikat pada tahun 1950. Pengalaman militernya membuat ia tetap tenang dan mampu mengambil keputusan cepat di tengah ancaman mematikan.
Peristiwa ini tercatat sebagai operasi pembebasan pesawat tercepat dalam sejarah Indonesia, hanya berlangsung sekitar tiga jam sejak pembajakan dimulai. Kasus ini kemudian menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk memperkuat sistem keamanan penerbangan nasional, memperbarui prosedur komunikasi, serta meningkatkan koordinasi antara otoritas sipil dan militer di bandara.
Referensi: Kompas
Referensi tambahan: Historia, Tempo